Terik matahari menampar wajah wajah pejalan di jalan Malioboro,
gedung berjejeran diam membisu melihat aksi aksi yang mengerutkan dahi,
riuh dan ramai dengan aneka kendaraan, baik itu yang roda empat, roda
dua, andong, sepeda ikut urun rembug melihat para pejalan kaki.
Sebenarnya para pejalan kaki atau para wisatawan hanya ingin melihat
jalan Malioboro, memang Malioboro punya daya tarik tersendiri bukan
hanya dalam negeri bahkan mungkin sudah ke manca negara.
Ada apa dengan para pejalan kaki ? sebenarnya dinding tembok itu
menundukkan pandangan, kuda kuda pun ikut merunduk dengan para pejalan
kaki itu, dinding saja selalu di tutup dengan cat cat agar terlihat
menarik tidak di buka begitu saja. Dinding terkadang lebih sopan dan
lebih santun dari para pejalan kaki yang tidak tahu malu, tidak menjaga
aurotnya. Inilah sifat malu yang baik. Malu melanggar syari’at. Malu
tidak pake kerudung. Itulah kenyataan yang di alami oleh dinding yang
bertengger termenung melihat para pejalan.
Atau di tiang masjid yang menyanggah atap sambil menoleh kebawah dan
ikut tersenyum mendengarkan kajian, dengan ketenangan dan konsentrasi
untuk mendapatkan manfaat, kalau seandainya punya tangan dan kaki
seperti halnya manusia akan datang membawa alat tulis untuk menulis
setiap kalimat yang bermanfaat. Kalau orang-orang yang duduk di bawah
tiang itu malu untuk membawa buku, malu mencatat, malu duduk didepan,
malu untuk bertanya, malu menulis pertanyaan. Jelas ini malu yang tidak
di anjurkan.
Maka malu yang bersumber dari kekuatan iman tidak akan pernah
mengeluarkan tenaga dan fikiran untuk melanggar agama, sedangkan malu
yang bersumber dari keimanan akan mengerti dan bisa menempatkan malu
pada posisinya.
Benarlah apa yang di sabdakan oleh Nabi sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Umar Radliallahu anhuma beliau Nabi, bersabda :
الــــحيــا ء مــن الإ يــــما ن :ٍ[ متفق عليه ]
“Malu itu dari ke imanan” (HR. Bukhori dan Muslim)
Kenapa kita harus malu, karena malu selalu mengiringi seseorang untuk
dekat dengan Rabb, selalu menuntun untuk berbakti dan beramal, malu
selalu meredam nafsu yang menggelora untuk berbuat yang tidak baik, malu
adalah tempat berteduh dan bersandar tatkala jiwa tergoyang oleh
derasnya arus syahwat dan kencangnya gelombang kemaksiatan.
Malu adalah perahu yang kokoh untuk mengantarkan pada keimanan,
melewati syahwat yang menghancurkan, malu selalu memberi kedamaian bagi
para pemiliknya. Semoga kita selalu berasmara dengan malu dalam
mengarungi lembar lembar kehidupan dunia, dengan tinta malu kita bisa
menggores di lembar lembar itu dengan, dakwah, tarbiyah, amal.
Maka malu yang bersumber dari kekuatan iman tidak akan pernah mengeluarkan tenaga dan fikiran untuk melanggar agama, sedangkan malu yang bersumber dari keimanan akan mengerti dan bisa menempatkan malu pada posisinya.
BalasHapus